Untuk menjadi santri dan murid itu tidak mudah, Kata Kiai Asy’ari. Kita
membutuhkan keta’dhiman yang harus ditanamkan dalam jiwa-jiwanya, agar menjadi
santri dan murid itu mudah, maka harus ta'dhim. Ta'dhim terhadap guru, ta’dhim
terhadap orang tua yang sekaligus guru, ta’dhin terhadap apa yang dimiliki
guru, ta’dhim terhadai anak-anak guru, dan lain-lain yang berhubungan dengan
guru. Sebab ta'dhim lebih tinggi dari pada patuh.
Dalam catatan sejarah kalau santri nyabis (soan) ke dalem kiai/guru sandalnya
dilepas dikejauhan. Itu dilakukan sebagai bentuk ta’dhim santri dan murid
terhadap guru, sebab itu adalah salah satu bagian dari proses santri dan murid
memiliki memiliki lmu yg bermfaat di dunia dan akhirat, sebab lebih baik ta’dim,
sedikit membaca, daripada banyak mebaca tapi tidak ada ta’dim. Idealnya memang
lebih banyak membaca dan belajar sekaligus ta'dhim. Ada sebuah cerita dari K.H Asy’ari
Marsuqi beliau sebagai mustasyar MWC NU Gapura beliau bercerita dulu ketika K. H.Habib
mau soan naik motor bersama K.H Hasani (santri K. Habib) ke an-Nuqayah di pertigaan
jalan pesantren tiba-tiba ada K. Fikri (waktu itu masih dan baru bisa jalan
kaki) K. Habib menepuk-nepuk pundak K. H. Hasani, “berhenti, turun” K.H Habib turun
dari sepeda motornya, setelah K. Fikri tidak ada, kemudian K. Hasani bertanya, “Mengapa
tadi jenengan turun?”, “tadi yang lari-lari itu putranya K.H Warist” jawab K.H
Habib.
Ada cerita lagi K. Afif Andulang yang lulus SD kelas 6, tapi beliau di
sekolah mampu mengajar MA, Mts dan MI, rahasianya mengapa K.H Afif yang lulusan
SD mampu mengajar di semua tingkatan, karena ilmu beliau “merdhi”,
selalu hidup. Itulah sekelimut cerita yang disampaikan K.H Asy’ari Marzuqi
ketika siswa akhir MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura melakukan Praktek baca
al-Qur’an sebagai syarat kelulusan (roni).
12 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar